Pertanyaan ke - 1 :
Apa perbedaan antara syura dan demokrasi ?

Jawab:
Sebagian orang menganggap bahwa demokrasi adalah wujud praktek sistem syura dalam Islam. Ini adalah anggapan yang salah, dan jauhnya perbedaan antara keduanya bagaikan timur dan barat. Diantara perbedaannya adalah:

1. Aturan syura berasal dari Allah dan selalu berlandaskan di atas syariat-Nya. Sementara demokrasi sumbernya adalah suara mayoritas walaupun itu suaranya orang-orang fasiq bahkan kafir.

2. Bahwa syura dilakukan pada perkara yang belum jelas ketentuannya dalam syariat, dan jika ada ketentuan syariat maka itulah yang ditetapkan. Adapun dalam demokrasi, perkara yang sudah jelas dalam syariat pun dapat diubah jika suara mayoritas menghendaki, sehingga dapat menghalalkan yang haram dan sebaliknya.

3. Anggota majelis syura adalah para ulama dan yang memliki sifat-sifat seperti telah dijelaskan. Sedang dewan perwakilan rakyat atau majelis permusyawaratan dalam sistem demokrasi anggotanya sangat heterogen. Ada yang berilmu agama, ada yang bodoh, ada yang bijak ada yang tidak, ada yang menginginkan kebaikan rakyat, dan ada yang mementingkan diri sendiri, mereka semua yang menentukan hukum dengan keadaan seperti itu.

4. Dalam sistem syura, kebenaran tidak dapat diketahui dengan mayoritas tapi dengan kesesuaian terhadap sumber hukum syariat. Sedangkan dalam sistem demokrasi, kebenaran adalah suara mayoritas walaupun menentang syariat Allah yang jelas.


5. Syura adalah salah satu wujud keimanan, karena dengan syura kita mengamalkan ajaran Islam. Sedangkan demokrasi adalah wujud kekufuran kepada Allah, karena jika mayoritas memutuskan perkara kekafiran maka itulah keputusan yang harus diikuti menurut mereka.

6. Syura menghargai para ulama, sedangkan demokrasi menghargai orang-orang kafir.

7. Syura membedakan antara orang yang shalih dan yang jahat, sedangkan demokrasi menyamakan antara keduanya. Asy-Syaikh Al-Albani berkata: "Sistem pemilu...tidak membedakan antara yang shalih dan yang jahat, masing-masing mereka berhak untuk memilih dan dipilih, dan tidak ada perbedaan pada jenis ini semua antara ulama dan orang yang bodoh. Sementara Islam tidak menghendaki pada majelis parlemen (maksudnya majelis syura) kecuali orang-orang pilihan dari masyarakat muslim dari sisi ilmu (agama) dan keshalihannya serta laki-laki, bukan perempuan." (Fatawa Al-'Ulama Al-Akabir, hal. 110)

8. Syura bukan merupakan kewajiban di setiap saat, bahkan hukumnya berbeda sesuai dengan perbedaan keadaan. Sedangkan demokrasi merupakan suatu yang diwajibkan oleh Barat kepada para penganutnya dengan kewajiban yang melebihi wajibnya shalat lima waktu dan tidak mungkin keluar darinya.

9. Sistem demokrasi jelas menolak Islam dan menuduh bahwa Islam lemah serta tidak mempunyai maslahat, sedangkan keadaan syura tidak demikian.

(Lihat kitab Tanwiruzh Zhulumat, hal. 21-36 dan Fiqih As-Siyasah Asy-Syar'iyyah hal. 61)
Wallahu a'lam.
Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.

(Dikutip dari majalah Asy Syariah Vol I/No. 06/Maret 2004/ Muharram 1425 H, hal. 20)

Pertanyaan ke – 2 :
Sejauh mana keterkaitan antara demonstrasi dengan demokrasi ?

Jawab:
Demonstrsasi, unjuk rasa, dan semacamnya seolah telah menjadi elemen penting dalam denyut nadi demokrasi. Ia diagungkan sebagai gerakan moral untuk mengontrol kekuasaan agar berjalan menurut aturan konstitusi. Demonstrasi terutama yang dilakukan mahsiswa telah menjadi keniscayaan di alam demokrasi. Ia merupakan gerakan moral untuk mengkritisi pemerintah yang dianggap melenceng dari konstitusi. Ketika aktivitas 'turun ke jalan' mereka diberangus, maka istilah yang mengemuka adalah demokrasi telah dikhianati. Namun Islam memandang lain terhadap prilaku itu. Telah ada riwayat dari ulama salaf, yang menggambarkan penentangan Islam terhadap demonstrasi dengan berbagai dampak buruknya. Bahkan Islam memandang demonstrasi sebagai bagian pemberontakan lisan. Bahasan berikut memang sangat ringkas karena berupa fatwa. Namun semoga hal ini dapat memberi manfaat.

Fadhilatus Syaikh Dr. Shalih As-Sadlan ditanya: "Wahai Syaikh, menurut pemahaman saya, anda tidak mengkhususkan pemberontakan itu hanya dengan pedang tetapi juga termasuk pemberontakan yang dilakukan dengan lisan ?"
Beliau menjawab: "Ini pertanyaan penting, karena sebagian dari saudara-saudara kita telah melakukannya dengan niat baik dalam keadaan meyakini bahwa pemberontakan itu hanya dengan pedang. Padahal pada hakikatnya, pemberontakan itu tidak hanya dengan pedang dan kekuatan saja atau penentangan dengan cara-cara yang sudah diketahui secara umum. Tetapi pemberontakan yang dilakukan dengan lisan justru lebih dahsyat dari pemberontakan bersenjata karena pemberontakan dengan pedang dan kekerasan justru dilahirkan dari pemberontakan dengan lisan.

Maka kita ucapkan kepada mereka saudara-saudara kita yang terbawa oleh emosi yang kami berprasangka baik kepada mereka bahwa mereka berniat baik –insya Allah - agar mereka menenangkan dirinya. Dan kami katakan kepada mereka : tenang dan sabarlah, karena kekerasan dan kebencian kalian akan membawa dampak jelek pada hati. Kemudian hati tersebut akan melahirkan emosi yang tidak kenal kecuali kekerasan dan pemberontakan. Di samping itu juga akan membuka pintu bagi orang-orang yang memiliki kepentingan untuk mengeluarkan ucapan yang sesuai dengan hawa nafsunya, haq ataupun batil.
Tidak diragukan lagi bahwa memberontak dengan lisan, atau dengan menggunakan pena dan tulisan, dengan penyebaran kaset-kaset, tabligh akbar, maupun ceramah-ceramah umum dengan membakar emosi massa, serta tidak dengan cara yang syar'i, maka saya yakin bahwa ini adalah dasar (pemicu) lahirnya pemberontakan bersenjata.

Saya memperingatkan dari perbuatan seperti ini dengan sekeras-kerasnya peringatan, dan saya katakan kepada mereka : "Kalian harus melihat dan mempertimbangkan apa hasilnya ? dan hendaklah kepada pengalaman orang yang telah melakukan sebelumnya dalam masalah ini !" Hendaklah mereka melihat fitnah-fitnah yang dialami oleh sebagian masyarakat Islam, apakah sebabnya ? Apakah tindakan awalnya sehingga mereka sampai keadaan seperti ini. Jika telah mengetahui yang demikian, maka akan kita ketahui bahwa memberontak dengan ucapan lisan dan menggunakan media massa untuk membangkitkan kebencian, membakar emosi, dan kekerasan akan melahirkan fitnah dalam hati." (Lihat 'Ulama Su'udiyyah Yu-akkiduna 'Alal Jam'ah wa Wujubus Sam'i wath Tha'ah li Wulatil Amri, hal. 5-6)

Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed
(Dikutip dari majalah Asy Syariah Vol I/No. 06/Maret 2004/ Muharram 1425 H, hal. 21)
Labels: edit post
0 Responses

Posting Komentar