HAFALKAN AL-QUR’AN TERLEBIH DAHULU!

Abu Umar bin Abdil Barr -rahimahullah- berkata:
“Menuntut ilmu itu ada tahapan-tahapannya. Ada marhalah-marhalah dan tingkatan-tingkatannya. Tidak sepantasnya bagi penuntut ilmu untuk melanggar/melampaui urutan-urutan tersebut. Barangsiapa secara sekaligus melanggarnya, berarti telah melanggar jalan yang telah ditempuh oleh as-salafus shalih rahimahumullah. Dan barangsiapa melanggar jalan yang mereka tempuh secara sengaja, maka dia telah salah jalan, dan siapa saja yang melanggarnya karena sebab ijtihad maka dia telah tergelincir.
Ilmu yang pertama kali dipelajari adalah menghafal Kitabullah k serta berusaha memahaminya. Segala hal yang dapat membantu dalam memahaminya juga merupakan suatu kewajiban untuk dipelajari bersamaan dengannya. Saya tidak mengatakan bahwa wajib untuk menghafal keseluruhannya. Namun saya katakan bahwasanya hal itu adalah kewajiban yang mesti bagi orang yang ingin untuk menjadi seorang yang alim, dan bukan termasuk dari bab kewajiban yang diharuskan.”

Al-Khathib Al-Baghdadi -rahimahullah- berkata:
“Semestinya seorang penuntut ilmu memulai dengan menghafal Kitabullah k, di mana itu merupakan ilmu yang paling mulia dan yang paling utama untuk didahulukan dan dikedepankan.”

Al-Hafizh An-Nawawi -rahimahullah- berkata:
“Yang pertama kali dimulai adalah menghafal Al-Qur’an yang mulia, di mana itu adalah ilmu yang terpenting di antara ilmu-ilmu yang ada. Adalah para salaf dahulu tidak mengajarkan ilmu-ilmu hadits dan fiqih kecuali kepada orang yang telah menghafal Al-Qur’an. Apabila telah menghafalnya, hendaklah waspada dari menyibukkan diri dengan ilmu hadits dan fiqih serta selain keduanya dengan kesibukan yang dapat menyebabkan lupa terhadap sesuatu dari Al-Qur’an tersebut, atau waspadalah dari hal-hal yang dapat menyeret pada kelalaian terhadapnya (Al-Qur’an).”

(An-Nubadz fi Adabi Thalabil ‘Ilmi hal. 60-61)

(Permata Salaf edisi 51) 
Labels: 0 comments | edit post


Al-Qur’an datang menyinari hati yang gelap dan menyinari jiwa yang gersang. Dan dia datang sebagai juru nasehat bagi orang yang membutuhkan bimbingan, sebagai pembawa kabar gembira bagi orang yang mau beriman dan sebagai pemberi peringatan bagi orang yang mengingkarinya. Betapa banyak kebaikan yang dapat di rasakan dengan kedatangannya, sehingga orang yang sedih akan menjadi gembira dengan membacanya dan orang yang bingung akan menjadi tenang jalannya serta orang yang hina akan menjadi mulia dengan mempelajari dan mengamalkannya.

Lebih jauh, diapun sebagai obat mujarab bagi segala penyakit. Siapa yang membaca ayat-ayatnya untuk pengobatan, maka dia akan mengetahui kehebatan Al-Qur’an dengan menyembuhkan beberapa penyakit dengan seizin Allah Ta’ala dan beberapa penyakit yang kalangan medis saat ini belum mampu menyembuhkannya. Sehingga tidaklah mengherankan kalau di katakan Al-Qur’an adalah penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sebagaimana firman-Nya (yang artinya) :
“Dan kami turunkan Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar (penyembuh penyakit fisik maupun rohani) dan rahmat bagi orang yang beriman kepada-Nya. “(QS. Al-Isra’ : 82).

Bahkan di lihat dari segi pahala dan keutamaannya. Al-Qur’an menyimpan sekian banyak pahala dan keutamaan bagi orang yang membaca, mempelajari, memahami dan mengamalkannya. Orang yang mahir membaca Al-Qur’an maka pada hari kiamat akan di kumpulkan bersama rombongan malaikat yang mulia. Sedangkan bagi orang yang terbata-bata dalam membacanya akan mendapatkan dua pahala, yaitu pahala dia membaca Al-Qur’an dan pahala kesungguhan dalam membacanya dengan baik dan benar.
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah

Makna Keberkahan
Al Baarakah adalah: Kebaikan yang banyak dan tetap pada sesuatu, baik harta, anak maupun ilmu. Segala sesuatu yang Allah berikan kepadamu, maka engkau memohon kepada-Nya agar dikaruniakan keberkahan di dalamnya. Karena jika Allah Ta’ala tidak memberikan keberkahan pada hal-hal yang telah Dia berikan kepadamu, maka engkau akan terhalang untuk memperoleh banyak kebaikan.

Betapa banyak orang yang memiliki harta yang melimpah, tapi ia tergolong pada deretan orang-orang miskin, kenapa? Karena mereka tidak bisa mengambil manfaat dari limpahan harta yang mereka miliki. Ia tidak memberikan nafkah secara baik kepada keluarga dan juga pada dirinya dan ia tidak (bisa) mengambil manfaat dari hartanya. Orang yang keadaannya seperti itu seringkali bersikap bakhil dari kewajiban yang seharusnya ia tunaikan. Allah Ta’ala akan menimpakan berbagai kejelekan yang dapat menghabiskan hartanya. Banyak orang yang mempunyai anak yang banyak, namun anak-anaknya itu tidak memberikan kemanfaatan kepadanya, sehingga mereka berbuat durhaka dan sombong kepada bapaknya sampai-sampai anaknya itu duduk-duduk bersama teman-temannya selama berjam-jam, berbincang-bincang dan senang bergaul dengan mereka, menceritakan rahasia kepadanya. Akan tetapi jika duduk bersama bapaknya, maka ia bagaikan seekor burung yang terkurung di dalam sangkarnya. Wal’iyadzubillah. Ia tidak berlaku ramah kepada bapaknya, tidak berbincang-bincang dengannya, tidak menceritakan rahasia pada bapaknya sedikitpun sampai ia berat untuk melihat bapaknya. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak diberkahi pada anak-anaknya.

Keberkahan dalam Ilmu

Terkadang engkau dapati bahwa sebagian orang telah diberi ilmu oleh Allah yang banyak, namun kondisinya seperti orang-orang yang awam yang tidak tampak pengaruh ilmu dalam dirinya, baik dalam hal ibadah, akhlak, perilaku dan bermuammalah dengan sesamanya. Ia memperoleh ilmu tersebut lantaran sikap sombong dan congkak terhadap manusia serta meremehkan mereka. Orang seperti ini tidak mengetahui bahwa yang telah memberikan karunia ilmu kepadanya adalah Allah dan sesungguhnya jika Allah menghendaki maka tentunya keadaannya seperti orang-orang yang bodoh.

Atau terkadang engkau dapati seseorang yang telah Allah beri ilmu, namun orang lain tidak mengambil manfaat dengan ilmunya, baik dengan pengajaran, pembinaan, maupun penulisan kitab, namun ilmunya itu hanya untuk dirinya sendiri. Allah Ta’ala tidak memberikan keberkahan ilmu kepadanya. Hal ini tidak diragukan lagi adalah keterhalangan yang besar.

Padahal dari apa yang Allah berikan kepada diri seseorang, ilmu adalah sesuatu yang paling diberkahi. Sebab, jika engkau ajarkan dan engkau sebarkan kepada orang lain, maka engkau akan mendapatkan pahala dan ganjaran pahala dari beberapa sisi, diantaranya :

Labels: 0 comments | edit post


Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata:

‘Isa bin Maryam ‘alaihissalam bersabda: “Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan, dan pada harta terdapat penyakit yang sangat banyak.”

Beliau ditanya: “Wahai ruh (ciptaan) Allah, apa penyakit-penyakitnya?”

Beliau menjawab: “Tidak ditunaikan haknya.”

Mereka menukas: “Jika haknya sudah ditunaikan?”

Beliau menjawab: “Tidak selamat dari membanggakannya dan menyombongkannya.”

Mereka menimpali: “Jika selamat dari bangga dan sombong?”

Beliau menjawab: “Memperindah dan mempermegahnya akan menyibukkan dari dzikrullah (mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala).”

(Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 81)


Beliau, Sufyan Ats Tsauri  rahimahullahu berkata: “Kelebihan dunia adalah kekejian di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat.”

Beliau ditanya: “Apa yang dimaksud dengan kelebihan dunia?”

Beliau menjawab: “Yakni engkau memiliki kelebihan pakaian sedangkan saudaramu telanjang; dan engkau memiliki kelebihan sepatu sementara saudaramu tidak memiliki alas kaki.”

 
(Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 76)
Labels: 1 comments | edit post


Oleh: Asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas bin Abdul Karim


Kita lihat di antara barisan para penuntut ilmu ada orang-orang yang dianugerahi kemampuan yang agung, yang luar biasa, yang membuat mereka pantas mendapat kemuliaan ilmu. Hanya saja cita-cita mereka yang rendah menghancurkan anugerah tersebut, menghilangkan eloknya keunggulan mereka, sehingga engkau dapati mereka merasa cukup dengan ilmu yang sedikit, mereka tidak suka membaca dan menelaah, mereka sering terlalaikan dari menuntut ilmu.

Betapa cepatnya mereka melepaskan potensi ini dan menghilangkan berkah waktu-waktu mereka. Hal itu terjadi karena kufur nikmat. Tentu saja ini menyebabkan nikmat tersebut pergi, sebagaimana syukur nikmat adalah penyeru untuk penambahan nikmat tersebut.
Al-Farra’ rahimahullah berkata,
“Tidaklah aku merasa kasihan pada seseorang seperti rasa kasihanku kepada dua orang: Seorang yang menuntut ilmu, namun dia tidak mempunyai pemahaman, dan seorang yang paham tetapi tidak mencarinya. Dan aku sungguh heran dengan orang yang lapang untuk menuntut ilmu tetapi dia tidak belajar.” (Jami’ Bayanil Ilmi Wa Fadhlihi, 1/103)

Ibnul Jauzi rahimahullah memberi keterangan perkataan Abith Thayyib Al-Mutanabbiy:
Aku tidak melihat aib-aib manusia sebagai aib
Seperti kekurangan orang-orang yang mampu untuk sempurna
Ibnul Jauzi berkata,
“Seharusnya seorang yang berakal berhenti pada puncak yang memungkinkan baginya. Apabila tergambar bagi anak Adam tingginya langit, sungguh aku memandang bahwa keridhaanya dengan bumi termasuk kekurangan yang paling buruk.
Kalau seandainya kenabian diperoleh dengan kesungguh-sungguhan, aku melihat orang yang merasa tidak butuh untuk memperolehnya berada dalam tempat yang rendah. Jalan hidup yang indah menurut ahli hikmah adalah keluarnya jiwa kepada puncak kesempurnaanya yang memungkinkan baginya dalam berilmu dan beramal.”

Beliau juga berkata,
“Secara global, dia tidak meninggalkan keutamaan yang mungkin ia peroleh kecuali dia berusaha memperolehnya. Sesungguhnya rasa puas adalah keadaan orang-orang rendahan.
Maka jadilah seorang lelaki yang kakinya menghujam di bumi
Sedangkan cita-citanya setinggi bintang Tsurayaa
Kalau memungkinkan bagimu untuk melampaui setiap ulama dan orang-orang yang zuhud, maka lakukanlah. Mereka itu laki-laki, engkau juga laki-laki. Dan tidaklah seseorang duduk kecuali karena rendahnya dan hinanya cita-citanya.
Ketahuilah bahwa kamu berada dalam ajang perlombaan, sedangkan waktu-waktu akan habis. Maka, janganlah engkau kekal menuju kemalasan. Tidaklah luput sesuatu kecuali dengan kemalasan. Dan tidaklah dicapai sesuatu kecuali dengan kesungguhan dan tekad.” (Shaidul Khatir hal. 159-161.)

Labels: 0 comments | edit post
Rosulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, 
“ Allah lebih gembira atas taubat seorang hambaNya ketika ia mau bertaubat kepadaNya” 
(HR Bukhori – Muslim)
 
Alangkah indahnya hikayat yg dituangkan oleh Al-Allamah Ibnul Qoyyim berikut ini:

“Ini adalah hikayat terkenal tentang seseorang yang keimanannya tinggi. Pada suatu hari, ia berhasil lolos dan lari dari tuannya. Disebuah gang ia melihat sebuah pintu rumah yang terbuka. Tiba-tiba seorang anak kecil sambil menangis keluar dari pintu itu. Tampak ibunya berada dibelakang mengusirnya keluar. Belum jauh si anak malan itu pergi, ia berhenti, ia berpikir dan bingung karena tidak punya tempat tinggal selain rumah yang baru saja ia tinggalkan tersebut, juga tidak ada yang melindunginya selain ibunya. Ia pun kembali lagi dengan hati hancur dan perasaan sedih. Mendapati pintu rumahnya telah terkunci rapat-rapat, ia lalu duduk bersandar sambilmeletakkan pipinya di ambang pintu, kemudian tertidur.

Sang ibu keluar, melihat anaknya dalam keadaan seperti itu, serta merta mendatanginya. Ia mendekap dan menciuminya dengan penuh rasa haru, sambil menangis ia berkata, “Anakku, kemana kamu tinggalkan aku? Siapa yang akan sudi melindugimu selain aku? BUkankah telah aku katakan padamu, jangan menentangku, jangan pula berani berbuat durhaka padaku, hingga hilang rasa kasih sayangku kepadamu. Aku ingin kamu selalu baik dan bahagia. Sang ibu membopongnya dan masuk ke dalam rumah.”

Coba renungkan kata-kata sang ibu tadi, “Jangan pula berani berbuat durhaka padaku, hingga hilang rasa kasih sayangku kepadamu.” Renungkan pula sabda Rosulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam-

“Allah itu lebih sayang kpd hamba-hambaNya daripada sayang seorang ibu kepada anaknya”

Apakah artinya kasih sayang ibu, jika dibandingkan dengan kasih sayang Allah yang meliputi segala sesuatu? Oleh karena itu, jika seorang hamba membuat Allah murka dengan berbuat durhaka, berarti ia telah mendorong hilangnya rahmat Allah darinya. Dan jika ia mau bertaubat, berarti ia telah mengundang kembali rahmat yang memang pantas ia nikmati.


Madarij As-Saalikin 1/235-236 



 
















Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Setiap hari kita tenggelam dalam kenikmatan yang dilimpahkan oleh Ar-Rahman. Nikmat kesehatan, keamanan, ketenangan, rizki berupa makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Belum lagi nikmat iman bagi ahlul iman. Sungguh, dalam setiap tarikan napas, ada nikmat yang tak terhingga. Dari mulai tidur, bangun dari tidur hingga tidur kembali, ada nikmat yang tiada terkira. Maka Maha Benar Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika berulang-ulang menegaskan dalam surat Ar-Rahman:
فَبِأَيِّ آلاَءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Rabb kalian yang manakah yang kalian berdua (bangsa jin dan manusia) dustakan?”
Nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berlimpah ini semestinya dihadapi dengan penuh rasa syukur. Namun sangat disesali, hanya sedikit dari para hamba yang mau bersyukur:
َوَقَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur.” (Saba’: 13)
Kebanyakan dari mereka mengkufuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atau malah mempergunakan nikmat tersebut untuk bermaksiat dan berbuat dosa kepada Ar-Rahman. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada mereka banyak kebaikan namun mereka membalasnya dengan kejelekan.
Demikianlah keadaan anak manusia, setiap harinya selalu berbuat dosa. Kita pun tak luput dari berbuat dosa, baik karena tergelincir ataupun sengaja memperturutkan hawa nafsu dan bisikan setan yang selalu menggoda. Amat buruklah keadaan kita bila tidak segera bertaubat dari dosa-dosa yang ada dan menutupinya dengan berbuat kebaikan. Karena perbuatan dosa itu memiliki pengaruh yang sangat jelek bagi hati dan tubuh seseorang, di dunianya ini maupun di akhiratnya kelak.



Al-Imam Al-’Allamah Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu menyebutkan secara panjang lebar dampak negatif dari dosa. Beberapa di antaranya bisa kita sebutkan di sini sebagai peringatan:

1. Terhalang dari ilmu yang haq. Karena ilmu merupakan cahaya yang dilemparkan ke dalam hati, sementara maksiat akan memadamkan cahaya.
Tatkala Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu belajar kepada Al-Imam Malik rahimahullahu, Al-Imam Malik terkagum-kagum dengan kecerdasan dan kesempurnaan pemahaman Asy-Syafi’i. Al-Imam Malik pun berpesan pada muridnya ini, “Aku memandang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memasukkan cahaya ilmu di hatimu. Maka janganlah engkau padamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu pernah bersajak:
شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِي
فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي
وَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ
وَ فَضْلُ اللهِ لاَ يُؤْتاَهُ عَاصِ
“Aku mengeluhkan jeleknya hafalanku kepada Waki’
Maka ia memberi bimbingan kepadaku agar meninggalkan maksiat
Ia berkata, “Ketahuilah ilmu itu merupakan keutamaan
dan keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.” 1
2. Terhalang dari beroleh rizki dan urusannya dipersulit.
Takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mendatangkan rizki dan memudahkan urusan seorang hamba sebagaimana firman-Nya:
وَ مَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ
“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi orang tersebut jalan keluar (dari permasalahannya) dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
وَمَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 4)
Meninggalkan takwa berarti akan mendatangkan kefakiran dan membuat si hamba terbelit urusannya.

Labels: 0 comments | edit post
 **BANANA CRUMB MUFFINS**

Alhamdulillah.. sudah lama sekali ana ingin menyoba resep ini, tapi belum ada pisangnya (yang udah masak total).. tapi bbrp waktu yg lalu membeli pisang satu sisir.. dan sudah tersisa sebagian pisang yg blm di makan.. lalu ana teringat dgn resep ini...

Membuat ini insyaAllah sangat praktis dan mudah.. hanya memerlukan bbrp waktu saja.. tidak sampai berjam2.. tdk pakai kata "capek". Cocok utk dihidangkan saat sarapan, atau skdr sebagai cemilan di dampingi oleh secangkir kopi atau teh manis panas.


Sebagai modifikasi, ana menambahkan chocolate chips (coklat keping) pada adonan dan menambahkan meises bewarna pada topping.

Ingredients

* 190 g all-purpose flour
* 5 g baking soda
* 5 g baking powder
* 3 g salt
* 3 bananas, mashed
* 150 g white sugar
* 1 egg, lightly beaten
* 75 g butter, melted
* 75 g packed brown sugar
* 15 g all-purpose flour
* 0.3 g ground cinnamon
* 15 g butter

Directions

1. Preheat oven to 375 degrees F (190 degrees C). Lightly grease 10 muffin cups, or line with muffin papers.
2. In a large bowl, mix together 1 1/2 cups flour, baking soda, baking powder and salt. In another bowl, beat together bananas, sugar, egg and melted butter. Stir the banana mixture into the flour mixture just until moistened. Spoon batter into prepared muffin cups.
3. In a small bowl, mix together brown sugar, 2 tablespoons flour and cinnamon. Cut in 1 tablespoon butter until mixture resembles coarse cornmeal. Sprinkle topping over muffins.
4. Bake in preheated oven for 18 to 20 minutes, until a toothpick inserted into center of a muffin comes out clean.

Labels: 0 comments | edit post