Oleh : Abu Anas Abdullah Al-Medani

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على رسول الله، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله وبعد
Sepintas sebahagian orang ketika mendengar pertanyaan ini akan menganggap ini adalah pertanyaan yang sepele dan remeh dan tidak perlu untuk ditanyakan. Akan tetapi kalau kita kaji lebih dalam, akan kita ketahui bahwasannya ini adalah pertanyaan yang agung dan sangat penting ,sebab  pertanyaan ini berkaitan dengan permasalahan ma’rifatullah ( mengenal Allah ) yang wajib bagi setiap manusia untuk mengetahui tentang Rabbnya Allah سبحان وتعالى, mengetahui tentang nama- nama-Nya dan sifat- sifat-Nya sesuai dengan apa yang Dia kabarkan kepada kita di dalam Al Qur’an dan juga yang dikhabarkan oleh nabi kita Muhammad صلى الله عليه وسلم dalam hadits- haditsnya ,dan mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib ditunaikan oleh hamba-hamba-Nya.

Dan juga pertanyaan ini adalah pertanyaan yang dijadikan oleh Rasulullah  صلى الله عليه وسلم sebagai penguji dan patokan untuk menghukumi  seseorang sebagai  mukmin.
Imam Muslim di dalam “ SHAHIH” nya, meriwayatkan sebuah hadits dari Mu’awiyyah bin Al Hakam As Sulami رضى الله عنه ,dia mengatakan :
”Aku pernah menampar seorang budak perempuanku, kemudian aku khabarkan hal tersebut kepada rasulullah صلى الله عليه وسلم ,maka beliau menganggap besar perkara yang demikian terhadapku, sehingga aku berkata kepada beliau : “Ya rasulullah, apakah aku harus membebaskannya?”, beliau mengatakan : “Bawa terlebih dahulu dia kepadaku!”, maka aku bawa budak perempuanku tersebut kepada rasulullah صلى الله عليه وسلم , kemudian beliau berkata kepadanya : “Dimana Allah?”, budak tersebut menjawab :Di langit”, rasulullah صلى الله عليه وسلم bertanya kembali :” Siapa aku ?”, budak tersebut menjawab : “Engkau rasulullah” , maka rasulullah صلى الله عليه وسلم mengatakan :” Bebaskan dia sesungguhnya dia seorang mukmin”[1] .

Lihatlah bagaimana rasulullah صلى الله عليه وسلم menghukumi budak tersebut sebagai seorang mukmin ketika dia menyatakan bahwasannya Allah سبحان وتعالى ada di langit bersamaan dengan pengakuannya bahwa beliau صلى الله عليه وسلم adalah Rasulullah. Sehingga nampak di sini bahwasannya tidaklah cukup seseorang dinyatakan sebagai  mukmin setelah dia meyakini bahwa nabi kita Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah rasulullah sampai dia meyakini bahwa Allah سبحان وتعالى ada di langit.

Akan tetapi kalau kita sodorkan pertanyaan ini kepada kaum muslimin yang ada sekarang, akan kita dapatkan kebanyakan mereka tidak menjawab dengan jawaban yang tepat. Mereka akan menjawab dengan jawaban yang berbeda dengan jawaban budak perempuan tersebut, dengan mudahnya lisan-lisan mereka akan mengatakan “ Allah ada di mana- mana !” atau dengan ungkapan yang lain yang intinya tidak mengakui dan tidak menetapkan bahwa Allah سبحان وتعالى ada di langit. Padahal di hadapan mereka ada Al- Qur’an yang menjelaskan dengan penjelasan yang lebih dari cukup tentang penetapan yang demikian. Apalagi hal tersebut  disokong dengan hadits-hadits yang shahih yang banyak dan ditambah lagi dengan perkataan para sahabat رضى الله عنهم dan para tabi’in serta ‘ulama dari kalangan mazhab yang empat dan selain mereka, yang  sedikitpun tidak akan menimbulkan keraguan di hati seorang mukmin yang masih bersih hatinya dan selamat fithrahnya bahwa Rabbnya ( Allah سبحان وتعالى ) ada di langit, istiwa’[2] di atas Arsy- Nya.

Adapun dalil dari Al-Qur’an diantaranya firman Allah سبحان وتعالى  di dalam surat Yunus ayat 3:

إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Sesungguhnya Rabb kalian adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian dia Istiwa’ di atas 'Arsy “

Dan juga Allah سبحان وتعالى  berfirman dalam surat Thaha ayat 5 :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“ Ar Rahman di atas ‘Arsy istiwa’ “

Berkata Imam Abu Hanifah رحمه الله  : “Barangsiapa yang mengatakan : saya tidak tau apakah Rabb saya di langit atau di bumi, maka dia kafir, karena Allah Ta’ala mengatakan :
 
الرَّحْمنُ عَلى العَرْشِ اسْتَوَى

“ Ar Rahman di atas ‘Arsy istiwa’ “
Dan ‘Arsy- Nya di atas langit ketujuh. Barangsiapa yang mengatakan : sesungguhnya Dia di atas ‘Arasy, akan tetapi saya tidak tahu apakah Arsy tersebut di langit atau di bumi, maka dia kafir karena dia mengingkari bahwasannya Dia di langit. Barangsiapa yang mengingkari bahwa Dia di langit maka dia kafir, karena Allah Ta’ala lah yang maha tinggi, dan dia diseru ke arah yang tinggi bukan ke arah yang rendah”. [3].

Demikian juga Allah سبحان وتعالى  berfirman di dalam surat Al- Mulk: 16- 17:

أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ # أَمْ أَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِباً فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ

“Apakah kamu merasa aman terhadap (Allah) yang berada di langit bahwa dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?, Atau apakah kamu merasa aman terhadap (Allah) yang ada di langit bahwa dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?”

Juga Allah سبحان وتعالى  berfirman dalam surat Ghaafir ayat: 36- 37 :

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحاً لَّعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ #  أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِباً

“Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang Tinggi supaya Aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya Aku dapat melihat Rabbnya Musa dan Sesungguhnya Aku memandangnya seorang pendusta”

Ayat ini menunjukkan bahwasannya Nabi Musa عليه السلام mendakwahkan kepada Fir’aun bahwa Rabbnya ( Allah سبحان وتعالى ) ada di langit, dan Fir’aun merasa ragu dengan demikian dan berusaha mengingkari dan mendustakan Nabi Musa عليه السلام dakwahan beliau tersebut.

Maka orang-orang yang menetapkan bahwa Allah سبحان وتعالى ada di langit  aqidahnya (keyakinannya) sama dengan Nabi Musa عليه السلام . Adapun orang yang ragu dengan demikan maka aqidahnya sama dengan aqidah Fir’aun. Siapakah yang lebih benar dan lebih baik ; seseorang yang beraqidah sama dengan aqidah seorang nabi dari kalangan nabi Allah ataukah seseorang yang beraqidah sama dengan Fir’aun ?!.

Dan Allah سبحان وتعالى juga berfirman tentang para malaikat dan makhluk- makhluk-Nya yang taat kepada-Nya yang ada di langit dan di bumi bahwasannya mereka :

يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Mereka takut kepada Rabb mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka)”.(An- Nahl: 50)

Demikian juga  Allah سبحان وتعالى berfirman tentang pengangkatan nabi Isa عليه السلام ke langit :

إِذْ قَالَ اللّهُ يَا عِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ

“(ingatlah), ketika Allah berkata: "Hai Isa, Sesungguhnya Aku akan menidurkanmu dan mengangkatmu kepada-Ku “. (Ali- Imran : 55 )

Juga Allah سبحانه وتعالى berfirman:
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى

“Bertasbihlah dengan menyebut nama Rabb kamu yang maha tinggi”. (Al-A’la : 1).

Lihatlah, bagaimana Allah سبحانه وتعالى mensifati dirinya dengan Maha Tinggi. Dan tidaklah Allah سبحانه وتعالى dikatakan Maha Tinggi kalau Dia berada di bawah, atau ada makhluk yang lebih tinggi dari-Nya.
Dan Allah سبحانه وتعالى juga berfirman :

إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَّهُ الدِّينَ

“Sesunguhnya kami telah menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan peribadahan kepada-Nya”.(Az-Zumar : 2)

Pada ayat ini,Allah Ta’ala mengkhabarkan bahwa Dialah yang telah menurunkan Al Qur’an kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم dengan membawa kebenaran. Dan perbuatan “menurunkan” tidak akan terjadi kecuali dari atas ke bawah. Maka ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala berada di atas.

Demikian juga Allah سبحانه وتعالى  berfirman :
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

Kepada-Nya lah naik ucapan-ucapan yang baik, dan amal shalih Dia lah yang mengangkatnya”.(Faathir : 10).

Allah Ta’ala mengkhabarkan bahwa ucapan-ucapan yang baik berupa zikir dan sebagainya akan naik kepada-Nya, dan bahwasannya amalan yang shalih Dialah yang akan mengangkatnya. Ini juga menunjukkan tingginya Allah سبحانه وتعالى , karena kata-kata “naik” tidak akan terjadi kecuali dari bawah ke atas.

Adapun dalil dari hadits, diantaranya perkataan Rasulullah صلى الله عليه وسلم  dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id Al Khudri رضى الله عنه dimana Rasulullah صلى الله عليه وسلم  bersabda :
أَلَا تَأْمَنُونِي وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِي السَّمَاءِ يَأْتِينِي خَبَرُ السَّمَاءِ مَسَاءً وَصَبَاحًا

“ Apakah kalian tidak percaya kepadaku sementara aku adalah orang yang dipercaya (oleh Allah ) yang ada di langit, datang kepadaku khabar dari langit sore hari dan pagi hari “[4].

 Dan dari Abu Hurairah رضى الله عنه  bahwasannya Rasulullah صلى الله عليه وسلم  berfirman :

الْمَيِّتُ تَحْضُرُهُ الْمَلَائِكَةُ فَإِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَالِحًا قَالُوا اخْرُجِي أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ كَانَتْ فِي الْجَسَدِ الطَّيِّبِ اخْرُجِي حَمِيدَةً وَأَبْشِرِي بِرَوْحٍ وَرَيْحَانٍ وَرَبٍّ غَيْرِ غَضْبَانَ . فيقول ذالك حتى يعرج بِهَا إِلَى السَّمَاءِ الَّتِي فِيهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

“Setiap mayit akan dihadiri oleh malaikat, apabila dia seorang yang shalih, malaikat akan berkata kepadanya :“ Keluarlah wahai jiwa yang tenang yang ada di dalam jasad yang baik, keluarlah dalam keadaan terpuji dan bergembiralah dengan kelapangan dan wewangian, dan Rabb kalian dalam keadaan tidak murka. Maka malaikat tersebut mengatakan demikian sampai dibawa naik mayat tersebut ke langit yang berada padanya Allah [5].

 Dan dari Abu Hurairah رضى الله عنه , dia mengatakan:” Telah bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى إِلَّا كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا

“ Demi (Allah) yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami mengajak istrinya ke ranjangnya, kemudian istrinya tidak memenuhi panggilannya, kecuali pasti (Allah) yang ada di langit akan murka kepadanya sampai suaminya ridho kepadanya”.(HR.MUSLIM)[6]

Dan juga hadist Muawiyyah bin Al Hakam yang telah berlalu, yakni pertanyaan Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepada seorang budak perempuan tentang dimana Allah, merupakan dalil yang sangat jelas menunjukkan bahwasannya Allah سبحان وتعالى  ada di langit.

Demikian juga kisah Isra’ dan Mi’raj, dimana Rasulullah صلى الله عليه وسلم menemui Allah سبحان وتعالى di langit ketujuh di Sidrhatul Muntaha untuk menerima perintah shalat yang awal mulanya lima puluh waktu sehari semalam dan terus berkurang hingga menjadi lima waktu sehari semalam[7].

Adapun riwayat dari para sahabat, diantaranya riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam kitab “TARIKH”nya (1/201-202 no : 623) dengan sanad yang shahih dari Ibnu Umar رضى الله عنه ,dia mengatakan :

“ Tatkala meninggal Rasulullah صلى الله عليه وسلم masuklah Abu Bakar رضى الله عنه  , kemudian beliau membungkukkan badannya dan mencium kening rasulullah صلى الله عليه وسلم  dan mengatakan : “Sungguh keadaanmu sangat baik ketika hidup dan matimu”, kemudian beliau berkata kembali : “ Barangsiapa yang menyembah Muhammad maka Muhammad telah mati , dan barangsiapa yang menyembah Allah, maka Allah yang ada di langit hidup tidak akan mati “

Dalam shahih Bukhari dari Anas bin Malik رضى الله عنه  beliau mengatakan :

“ Adalah Zainab  رضى الله عنها berbangga terhadap istri- istri rasulullah صلى الله عليه وسلم  yang lain ,dia mengatakan: “ Kalian dinikahkan oleh keluarga-keluarga kalian sementara aku dinikahkan oleh Allah سبحان وتعالى dari atas langit ketujuh[8].

Adapun perkataan para ulama’ setelah mereka dari kalangan tabi’in dan selainnya, diantaranya perkataan Sulaiman At-Tamimi رحمه الله  seorang tabi’in : “ Kalau seandainya aku ditanya, dimana Allah ? pasti aku akan menjawab : di langit ![9] “.

Berkata Imam Al Auza’i رحمه الله  :” kami mengatakan –sementara para tabi’in masih banyak yang hidup- : Sesungguhnya Allah عز وجل di atas ‘Arsy- Nya, dan kami beriman dengan apa- apa yang datang di dalam sunnah tentang sifat- sifat- Nya “[10].

Berkata Imam Malik رحمه الله : Allah berada di langit dan ilmunya mencakup segala tempat, tidak ada sesuatupun yang luput dari ilmu Allah”[11].

Berkata ‘Ali bin Al Hasan bin Saqiq, aku berkata kepada Abdullah bin Al Mubarak رحمه الله : “Bagaimana kita mengenal Rabb kita ?, dia berkata : “ Rabb kita berada di langit ketujuh di atas ‘Arsy- Nya, dan kita tidak mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Jahmiyah[12] bahwa Dia ada di mana-mana  di atas bumi”. Kemudian disampaikan perkataan ini kepada Imam Ahmad bin Hambal رحمه الله ,maka beliau mengatakan : “ Demikanlah keyakinan yang ada pada kami ( yakni sebagaimana perkataan Abdullah bin Al Mubarak )”[13].

Berkata Imam Syafi’i رحمه الله : “ Perkataan yang merupakan sunnah, yang aku berada padanya dan berpandangan dengannya dan yang aku melihat mereka seperti Sufyan, Malik dan selain mereka berpandangan dengannya adalah bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah rasulullah, dan bahwasannya Allah سبحان وتعالى di atas ‘Arsy- Nya di  langit-Nya [14].

 Inilah diantara dalil-dalil dari dari sekian banyak dalil-dalil dari Al-Qur’an dan sunnah dan juga perkataan para sahabat dan ulama-ulama setelah mereka yang menunjukkan dan menetapkan suatu aqidah dan keyakinan yang merupakan aqidah islam bahwa Allah سبحان وتعالى berada di langit istiwa’ di atas ‘Arsy-Nya; yang tidak sepantasnya bagi seorang muslim setelah mengetahuinya masih ada keraguan tentang hal tersebut dan meyakini selainnya. Kita memohon kepada Allah سبحان وتعالى agar memberikan hidayah kepada kita dan kepada kaum muslimin seluruhnya kepada aqidah yang benar dan agar dijauhkan dari aqidah yang sesat dan menyimpang dari aqidah islam. Amiin
.
والحمد لله رب العالمين، وصلى الله سلم علي نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

Rujukan bacaan :
1. Ma'arijul Qabul karya Asy Syaikh Hafidz bin Ahmad Al Hakami rahimahulloh
2. Syarah ‘Aqidah Ath-Thahawiyah karya Ibnu Abil Izz Al Hanafi rahimahulloh
Buletin Ta'zhim As-Sunnah Edisi 13/IV/19 Rabi'uts Tsani 1431 H

[1]. HR.MUSLIM NO: 537
[2] . Istiwa’ dalam bahasa apabila ditambahkan dengan kata “ ‘ala ( di atas )” maknanya ‘ala wa irtafa’a yakni berada di tempat yang tinggi sebagaimana tafsiran dari Abu ‘Aliyah dan Mujahid
[3] Ijtima' Al Juyus Al Islamiyah, Hal. 74 (Cet. Daarul Atsar)
[4] HR.BUKHARI : 4351 ,MUSLIM : 1064
[5] HR.AHMAD (8/414 NO: 8754), IBNU MAJAH (2/1426 NO: 4268), hadits shahih dishahihkan oleh syekh albani
[6] . N0:1436
[7] .Hadits-hadits tentang kisah isra’ dan mi’raj terdapat dalam shahihain dan selainnya
[8]. HR.BUKHARI NO: 7420
[9] .Diriwayatkan  oleh al lalika’i (3/444 no:671)
[10] .lihat “ MA’ARIJUL QOBUL (1/HAL:235)”
[11] . Dikeluarkan oleh imam al lalika’i  no: 673
[12] . Suatu kelompok yang disandarkan kepada pencetusnya  “ Jahm bin Shofwan” yang mengingkari seluruh nama- nama dan sifat- sifat Allah عز وجل , dan telah memfatwakan kebanyakan ulama tentang kafirnya Jahmiyah dan keluarnya dari ahlu qiblat ( dari kelompok kaum musalimin ). Lihat “ MA’ARIJUL QOBUL : 1/ HAL : 155 !”.
[13] . Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam “ ASSUNNAH NO:22”
[14]. Diriwayatkan oleh Al Hakari di dalam “ AQIDAH ASSYAFI’I “ lihat “ MA’ARIJUL QOBUL (1/HAL:242)”.
Labels: edit post
0 Responses

Posting Komentar